Makna dan Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW
PPP.OR.ID-KHAZANAH. Tanggal 12 Rabiul Awal 1432
H, bertepatan pada 14 Januari 2014 seluruh kaum muslim merayakan maulid Nabi
Muhammad SAW, tidak lain merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan
secara turun temurun. Dalam catatan historis, Maulid dimulai sejak zaman
kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah,
putri Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini dilaksanakan atas usulan panglima perang,
Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tujuannya adalah untuk mengembalikan semangat
juang kaum muslimin dalam perjuangan membebaskan Masjid al-Aqsha di Palestina
dari cengkraman kaum Salibis. Yang kemudian, menghasilkan efek besar berupa
semangat jihad umat Islam menggelora pada saat itu. Secara subtansial, perayaan
Maulid Nabi adalah sebagai bentuk upaya untuk mengenal akan keteladanan Nabi
Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran agama Islam. Tercatat dalam sepanjang
sejarah kehidupan, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemimipn besar yang sangat
luar biasa dalam memberikan teladan agung bagi umatnya.
Dalam konteks ini, Maulid harus diartikulasikan
sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai
semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat
madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi,
transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme,
keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme. Dalam tatanan sejarah
sosio antropologis Islam, Nabi Muhammad SAW dapat dilihat dan dipahami dalam
dua dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi.
Pertama, dalam perspektif teologis-religius, Nabi
Muhammad SAW dilihat dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul terakhir
dalam tatanan konsep keislaman. Hal ini memposisikan Nabi Muhammad SAW sebagai
sosok manusia sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang bertugas membawa,
menyampaikan, serta mengaplikasikan segala bentuk pesan “suci” Tuhan kepada
umat manusia secara universal.
Kedua, dalam perspektif sosial-politik, Beliau
dilihat dan dipahami sebagai sosok politikus andal. Sosok individu Nabi
Muhammad SAW yang identik dengan sosok pemimpin yang adil, egaliter, toleran,
humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa
tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial
yang sejahtera dan tentram.
Tentu, sudah saatnya bagi kita untuk mulai
memahami dan memperingati Maulid secara lebih mendalam dan fundamental,
sehingga kita tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari
kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian
ritual-ritual sakralistik-simbolik keislaman semata, namun menjadikannya
sebagai kelahiran sosok pemimpin.
Karena bukan menjadi rahasia lagi bila kita
sedang membutuhkan sosok pemimpin bangsa yang mampu merekonstruksikan suatu
citra kepemimpinan dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis
dan nondiskriminatif, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW untuk seluruh
umat manusia. Kontekstualisasi peringatan Maulid tidak lagi dipahami dari
perspektif keislaman saja, melainkan harus dipahami dari berbagai perspektif
yang menyangkut segala persoalan. Misal, politik, budaya, ekonomi, maupun
agama. (kammi-jepang.org/hairi)
0 komentar:
Posting Komentar